Sedikitnya teman perjalanan, harga sebuah kemuliaan.

Selasa, 26 April 2016

Bukan mahram, haram berjabat tangan antara perempuan dan laki-laki. (dok. sindonews.com)


Di era kemajuan IPTEK dan kemajuan teknologi informasi saat ini, segala sesuatu bisa menjadi mudah. Sehingga kemudahan itu pun sering menjadi sesuatu yang kebablasan. Termasuk saat menggunakan medsos dan mesin pencari sebagai 'guru mengaji' kita. Padahal jelas-jelas Rasulullah, para sahabat, tabiin, tabiut tabiin mengajarkan kepada kita untuk melakukan dauroh. Dauroh yang biasanya mengkaji ilmu agama maupun non-agama dengan bimbingan seorang ustaz atau guru.


Di dalamnya diajarkan berbagai ragam ilmu yang didasari atas ilmu tauhid yang menjadi dasar proses belajar mengajar. Dauroh ini dalam perkembangannya membentuk suatu halaqah-halaqah yang pada akhirnya dilembagakan. Baik dalam bentuk pesantren/ma'had maupun sekolah-sekolah formal. Tapi kesemuanya itu tak lepas dari tujuan semula yaitu untuk menegakkan kalamullah.

Seiring dengan berjalannya waktu, seringkali pesantren maupun sekolah formal yang dibentuk atas dauroh tersebut justru lebih mementingkan hal keduniawian. Paham pluralisme dan sekularisme menjadi ajang empuk untuk disuntikkan ke lembaga-lembaga formal tersebut. Islam akhirnya hanya menjadi sekedar slogan yang tak lagi begitu dipentingkan dalam setiap kegiatan muamalah tadris.

Demi untuk berlomba-lomba meraih prestasi duniawi, pengelola lembaga tersebut tak segan-segan 'menjual' keyakinannya. Mengemis bantuan kepada para non-muslim yang jelas-jelas tak akan rela Islam akan berkembang. Padahal telah jelas Allah Ta'ala menyatakan dalam TQS Al-Baqarah (2):120:

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu sampai kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. 

Ayat yang sudah amat jelas, kadang masih saja diragukan. Dengan alasan bahwa zaman sudah berubah, atau kaum Yahudi dan Nasrani sudah tidak seperti dulu lagi. Saat ini mereka sudah begitu toleran kepada ummat Islam dan bla bla bla. Kenapa kita harus khawatir dengan mereka?

Urusan hubungan manusia dengan manusia kan sudah sepatutnya untuk saling berhubungan baik. Namun demikian tidak serta merta mengurangi kewaspadaan terhadap tabiat mereka. Sebab beberapa perilaku yang menurut mereka baik-baik saja, tapi dilarang oleh Islam. Semisal makan atau minum dengan tangan kiri. Makan dan minum dengan berdiri atau berjalan. Sesuatu yang terlihat remeh, tapi berapa banyak saudara muslim kita yang mengikuti sunnah Nabi dalam makan dan minum?

Kini yang lebih tragis lagi adalah saat wilayah otoritas kemusliman kita 'diinjak-injak' oleh seorang tokoh yang berpenampilan bak seorang muslim taat. Mengenakan baju koko, bersongkok, berkalung surban, dan mengucapkan salam memasuki sebuah komplek pesantren dan 'berceramah' di dalam masjid. Lalu ada yang bertanya, apa tak boleh seorang non-muslim memasuki masjid? Apa hukumnya?

Jawabnya boleh. Hukumnya berarti mubah (Imam Ahmad mengharamkan). Akan menjadi lebih baik lagi, jika orang kafir tersebut memasuki masjid untuk belajar ilmu Islam. Kemudian menetapkan hati untuk menjadi mualaf. Lalu masalahnya apa jika sang tokoh tersebut masuk masjid? Kan hukumnya sama dengan kafir yang lain.

Duh! Rebana dan tola'al badru 'alaina mengiringi. (dok. sindonews.com)

Nah, di sinilah ummat Islam dituntut untuk cerdas membaca suasana. Betapa banyak saat ini para tokoh yang dengan liciknya menarik simpati ummat demi kepentingan karir politiknya. Jelas ada bahaya besar yang nampak di depan mata bukan? Apalagi menyambut kedatangannya dengan lantunan syair "Tola'al badru 'alaina..." disertai tabuhan hadrah. 

Tidakkah ummat tak mau belajar dari sejarah yang berulang dan terus berulang. Tentang kehinaan ummat yang terperdaya oleh kaum kafir. Tidakkah cukup ayat-ayat Allah menjadikan pengingat bagi kita? Bagaimana Allah akan meluluh-lantakkan kaum bersama pemimpinnya yang melawan ketentuan Allah Ta'ala. Tidakkah cukup kisah kaum Nabi Nuh alaihissalam, kaum Nabi Hud alaihissalam, kaum Nabi Salih alaihissalam, serta kaum Nabi Luth menjadi pelajaran bagi ummat saat ini?

Sungguh, hanya orang-orang yang berfikir saja yang mau menerima kebenaran Al-Quran dan As-Sunnah tanpa syarat.


0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
By Nuzulul Arifin. Diberdayakan oleh Blogger.

Tukar Link Yuk...

Create your own banner at mybannermaker.com!

Translate